Senin, 20 Februari 2017

DALIL DALIL KEHUJAAN HADIST



BAB I
PEMBAHASAN

A.    LATAR BELAKANG
Sunnah Nabi Muhammad SAW adalah merupakan panduan dalam beribadah bagi umat Islam dimuka bumi, sebagai perbuatan Nabi besar Muhammad SAW pada masa hidupnya yang saat ini harus kita contoh dalam melakukan ibadah sehari-hari dengan Al qur’an sebagai wahyu Allah SWT.Ketika umat bertanya dan dalam perbedaan pendapat, maka Rasulullah meninggalkan dua wasiat, yaitu Al qurán dan al hadist, maka begitu pentingnya dasar hukum itu menjadi pedoman, dan sejauhmana kita memahaminya, menjadi tolak ukur pula sejauh mana kita mencapai ketinggiannya. Alqur’an s. ali imron ayat 32, yang artinya Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir."Dan Allah berfirman pada Q.s.4 ayat 14 berbunyi; Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.Maka dengan dibuatnya makalah ini yang berjudul “ dalil – dalil kehujaan hadist terhadap al qur’an ” maka kami berharap akan menambah khasanah untuk beribadah dan mencintai rasulnya, amin.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Memahami apa itu dalil-dalil kehujaan hadist
2.      Fungsi hadist terhadap al qur’an
1)      Taqzyid
2)      Tafshil
3)      Takhshish
4)      Tasyri











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dalil- Dalil Kehujjahan Hadits
Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum, sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya.
 Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan umat Islam harus kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, diantara ayatnya adalah sebagai berikut : 

1)      Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2)      Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31).
3)      Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4)      Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya.
 Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

B.     Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam
Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.  Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya :
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan(QS. An-Nahl : 44)
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarat dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
a)      Bayan at-Tafsir
Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah penjelasan hadith terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat mujmal, mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi hadith dalam hal ini memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
Merinci ayat-ayat yang mujmal (ayat yang ringkas atau singkat, global)
Sebagai contoh hadis berikut:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخ)                                                                                   
“Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)




b)      Men-taqyid ayat-ayat yang mutlaq
Kata mutlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid dan mutlaq artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh hadis Rasul SAW berikut:
لاتقطع يد السارق ا في ربع دينار فصاعدا (رواه مسلم)                                                                    
“Tangan  pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim)
Hadith di atas men-taqyid  ayat al-Qur’an berikut:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (QS. Al Maidah [5]: 38)

c)      Men-takhsis ayat yang ‘am
Kata ‘am ialah kata yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak. Sedangkan takhsis atau khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud men-takhsis yang ‘am ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat  fungsinya ini, maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadith ahad. Menurut Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa ditakhsish oleh hadith ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah sebalikanya.
Sebagai contoh:
لايرث القتل من المقتول شيأ                                                                                                       
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan.” (HR. Ahmad)
Hadis tersebut men-takhsis keumuman firman Allah surat an-Nisa’ ayat 44 berikut:           
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”






d)     Bayan at-tasyri’
Yang dimaksud bayan al-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Bayan ini oleh Abbas Mutawalli Hammadah dengan “zaa’id ‘ala al-kitab al-kariim” (tambahan terhadap nash al-Qur’an).
Hadis Rasulullah SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh, hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى                                                
            النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِين                  
 “Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim.”(HR. Muslim)



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kehujaan hadist ialah yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum
Fungsi hadist terhadap al qur’an :
a)      Tafshil, penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih umum.
b)      Taqyid, artinya membatasi ayat-ayat mutlaq denngan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu
c)      takhsis, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal
d)     al-tasyri, adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja





DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar